Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu (Matius 6: 33)

Kamis, 22 Maret 2012

DIKIRA ORANG MALAYSIA

Waktu itu gue lagi berkunjung ke sebuah bank (yang logonya merah merah itu tuh) buat ngurus kartu ATM yang dengan begonya ketelen di Mesin ATM.

Setelah terjadi sebuah obrolan singkat dengan mbak teller-nya (customer service-nya pergi entah ke mana), si teller itu lalu menelepon kantor pusat Lembong untuk menanyakan perihal kartu ATM gue. Ternyata kartu ATM gue ada, jadi gue nggak usah buat kartu ATM yang baru yang prosedurnya lumayan ribet. Sebelumnya gue udah ke kantor polisi kecamatan gue, mau buat surat kehilangan. Pas gue masuk, bapak polisinya lagi tidur sambil dengerin lagu-lagu dari handphone cinanya. Dia bilang kalau lagi mati listrik
-______-

Hari Senin sore gue diminta buat datang lagi untuk mengambil kartu ATM gue itu. Mbaknya bilang: "Bawa buku tabungan sama passport ya."

Gue kaget.

"Hah? Passport?"

Dalam hati: Buat apaan? 'kan biasanya pakai KTP.

Mbaknya tanya lagi: "Ada passport-nya gak?"

Dengan tampang bingung gue jawab: "Nggak ada, Mbak."

"Kenapa nggak ada?"

Gue jawab: "Sebentar, ini buat kartu identitas 'kan?"

Seorang teller di sebelahnya nyeletuk: "KTP, KTP. Dia orang Indonesia."

Teller 1: "Oh, bukan mahasiswa Malaysia?"

Gue: "Bukan, Mbak."

Teller 2: "Orang namanya aja Teguh."

Teller 1: "Yaaa di sana juga ada 'kan yang namanya Teguh."

Gue mesem-mesem sendiri.

"Emang kenapa saya bisa sampai dikira orang Malaysia?" tanya gue.

Teller 1: "Itu, dari wajah-wajahnya. Terus di UNPAD 'kan emang banyak mahasiswa Malaysia yang pakai bank ini. Kuliah di mana? UNPAD 'kan?"

Gue: "Iya, Mbak."

Akhirnya kesalahpahaman ini berakhir.

"Berarti senin sore ke sini bawa buku tabungan sama KTP ya. Bukan passport."

Kamis, 15 Maret 2012

ORANG ASING PINGGIR JALAN YANG MENGAJAK NGOBROL SOAL SUNAT

Kejadian ini baru saja saya alami beberapa puluh menit yang lalu. Mungkin ada yang sudah pernah mengalami pengalaman mirip atau bahkan serupa. Mohon dikomentari ya, orang asing ini memang benar-benar berniat terselubung atau emang saya yang curiga berlebihan.

Saya sedang dalam perjalanan menuju sebuah pusat perbelanjaan di Jatinangor. Saya melewati seorang pria dengan sepeda motor matic-nya di pinggir jalan, yang kemudian memanggil saya.

"Mas, Mas," panggil orang itu.

Saya menghentikan langkah saya, dan menghampiri orang tersebut.

"Ada apa, Mas?" tanya saya.

"Eh, kenal si ini gak?" (dia menyebutkan nama lengkap seorang cowok)

"Wah, nggak, Mas. Maaf."

Dia berkata lagi, "Mas kost di sini?" (di pinggir jalan antara pertigaan Sayang dengan Pusat Perbelanjaan Terbesar)

"Nggak, Mas. Saya kost di Sayang," jawab saya.

"Oh, kost di Sayang," orang itu menimpali.

"Memangnya temen Mas itu kost-nya di mana?" tanya saya.

"Di... di Jatinangor sih, Mas."

Saya tertawa kecil.

"Jatinangor 'kan luas, Mas."

(Dalam hati: Di sini ada ribuan mahasiswa. Lo kira dengan hanya berbekalkan nama lengkap seperti itu lo bakal menemukan orang yang lo cari?)

Orang tersebut kemudian bertanya, "Mas, boleh tahu nggak agamanya apa?"

Jujur, saya kaget dengan pertanyaan itu. Kenapa tiba-tiba jadi tanya soal agama seperti ini? Saya mulai mencium gelagat yang tidak beres.

"Kristen," jawab saya.

Kelihatan banget orang itu agak kaget mendengar jawaban saya.

"Oh, Kristen. Kristennya apa?"

"Protestan, Mas," jawab saya lagi.

"Oh gitu. Eeehhh, ayah saya emang Muslim, tapi ibu saya Kristen. Dan saya juga tidak condong di salah satunya."

Dia kemudian bertanya, "Mas, kalau dalam Kristen ada sunat nggak?"

"Ada. Kita 'kan sejarahnya hampir sama, Mas. Waktu itu kan TUHAN memerintahkan Abraham, kalau di Islam disebut Ibrahim, untuk menyunat seluruh kaumnya."

"Wajib nggak?"

"Nggak, Mas. Itu 'kan Perjanjian Lama, kemudian 'kan ada Perjanjian Baru. Di mana kita hidup nggak cuma dari Hukum Taurat. Kalau di Islam 'kan cuma Perjanjian Lama aja ya."

Saya tidak yakin sih dia mengerti jawaban saya, tapi ya sudahlah, yang penting saya sudah memberikan jawaban sebenar-benarnya.

Dia lalu bertanya, "Mas, tahu nggak perbedaan antara sunat orang Kristen dan sunat orang Islam?"
"Nggak lah, Mas. Orang yang nyunat sama-sama orang Islam, ya gitu-gitu aja."

"Nggak, gini-gini. Mas tahu nggak, dari bentuk penisnya itu, perbedaan antara orang yang sudah dan belum?" tanya dia lagi.

"Maksudnya antara orang yang sudah disunat dan belum disunat?"

(Dalam hati saya bertanya-tanya ke mana arah pembicaraan ini?)

"Iya."

"Ya tahu dong, Mas," sahut saya.

"Em, gini, Mas. Saya kan nggak condong ke agama tertentu dari orangtua saya. Jadi temen-temen saya ada yang ngira saya Islam, ada yang ngira Kristen, ada yang ngira Buddha. Mas berarti bisa nggak tunjukkin saya bedanya penis orang yang sudah disunat dengan yang belum?"

Saya bingung dengan pertanyaan itu.

"Ya bisa, Mas. Tapi gimana caranya (menunjukkannya)?"

"Gini, Mas. Mas lagi buru-buru nggak? Mau nggak sharing sebentar sama saya?" kata orang itu.

(Dalam hati: Lhah, kenapa malah jadi ngajak sharing kayak gini? bukannya tadi lagi nyari orang?)

"Saya nggak punya niat jelek apapun sama Mas," kata orang itu lagi.

"Oke sebelumnya saya mau tanya, Mas. Apa sih tujuan Mas ngajak saya seperti ini?"

"Ya buat sharing aja, Mas," jawab orang itu.

"Mm, kenapa harus saya?" tanya saya lagi. "Kenapa nggak orang lain? Mungkin temen-temen Mas yang sudah Mas kenal?"

"Nah, temen saya ini nggak tahu di mana 'nih."

"Mas ada nomor hapenya?" pancing saya.

"Eh, dari tadi dihubungin nggak bisaa."

(Dalam hati saya: Aneh banget sih, janjian sama orang tapi nggak tahu kosan di mana, nggak ada tempat janjiannya)

"Gini, Mas," kata saya lagi. "Saya emang lagi ada urusan di sana (sambil nunjuk Pusat Perbelanjaan Terbesar). Terus, jujur, saya agak curiga sama Mas."

(Dalam hati saya: Ya gimana nggak curiga? Mas nggak kenal saya tapi tahu-tahu ngajak sharing soal sunat dan keagamaan di pinggir jalan kayak gini. Mas ini siapa? anggota Ordo Illuminati?)

"Jadi maaf, Mas. Saya nggak bisa nemenin Mas sharing," kata saya memohon pamit, lalu melanjutkan perjalanan saya.

Dua tiga langkah saya berjalan, orang itu melaju kencang dengan motor matic dengan arah yang sama dengan saya.

Dalam hati: Katanya mau cari orang, Mas?

Sabtu, 10 Maret 2012

BERBAHASA GAUL BUKAN BERARTI LUPA BAHASA DAERAH

Gue lahir di Jogjakarta, besar di Jogjakarta, dan baru merantau ke Bandung setelah lulus SMA untuk meneruskan pendidikan ke jenjang Perguruan Tinggi. Bahkan, gue masih menyempatkan diri untuk pulang ke kampung halaman sekitar empat kali setahun.

Dalam keseharian gue di tanah perantauan ini, gue menggunakan bahasa gaul ala Jakarta, seperti yang temen-temen gue lakuin. Pada minggu-minggu pertama, memang gue masih sangat medok dalam mengatakan bahasa gaul itu. Namun lama kelamaan, gue bisa juga menghilangkan kemedhokan gue itu, dan berbicara dengan dialek yang netral.

Apa yang terjadi? Apakah gue melupakan bahasa daerah gue? Apakah gue malu dengan bahasa dan dialek daerah gue?

Tidak. Tidak sama sekali.

Malahan, gue sangat bangga dengan Jawa. Kota-kotanya yang unik. Bahasanya yang sopan dan lembut. Budayanya yang khas dan mendunia. Orang-orangnya yang rajin, ulet, dan kreatif. Gue bahkan takut dikira rasis karena kebanggaan gue ini.

Gue menggunakan bahasa gaul ala Jakarta dalam keseharian gue di sini, semata-mata untuk menjunjung tinggi prinsip "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung." Di mana gue akan hidup sesuai dengan budaya di tempat gue tinggal, dan di sini bahasa gaul ala Jakarta adalah bahasa yang populer digunakan di lingkungan mahasiswa.

Gue menghilangkan logat medhok ala Jawa gue, agar sebagai komunikator, gue bisa lebih netral. Yah, dalam Ilmu Komunikasi, seorang Public Speaker tidak dianjurkan untuk berbicara dengan logat / dialek daerah tertentu. Itu karena pendengar kita bisa saja berasal dari berbagai latar belakang budaya dan bahasa.

Gue masih bisa berbahasa Jawa, dan bahkan sangat bisa. Gue menggunakan bahasa Jawa saat berkomunikasi dengan komunitas yang sesuai dan dengan keluarga, lengkap dengan logat medhok yang khas itu. Bahkan, kepada orangtua, gue berbicara dengan bahasa Jawa Krama Inggil (tingkat halus).

Jadi, buat semuanya, tolong hilangkan paradigma sempit dan kaku ini. Orang yang menggunakan bahasa gaul di tanah perantauannya, bukan berarti sudah lupa dengan bahasa daerahnya. Siapa tahu, seperti saya, orang itu hanya berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan yang baru, tanpa ada maksud untuk melupakan bahasa ibunya.
Terima kasih.

Jumat, 09 Maret 2012

KETIKA KARTU ATM LO KETELEN

Untuk ketiga kalinya, gue harus mengalami kejadian bodoh yang cukup merepotkan ini. Yaitu Kartu ATM gue hilang. Well, untuk kali ini, lebih tepatnya tertelan, tidak hilang seperti yang terjadi dengan dua kejadian sebelumnya.

Bagaimana ceritanya?

Hari ini gue masih menginap di kontrakan temen-temen gue di Jalan Siliwangi, Bandung, deket pertigaan Gandhok. Memang sih semester ini gue lebih sering tinggal di Bandung daripada di Jatinangor, habis udah nggak ada kuliah.

Gue baru saja pulang dari check-up, dan berniat untuk mengambil uang di ATM. Gue menabung di sebuah bank "Logo Merah", dan ATM Center terdekat untuk bank tersebut ada di depan sebuah Mini Market di Jalan Ciumbeuleuit, di seberang sebuah kampus swasta terkemuka.

Gue mengeluarkan kartu ATM gue, kemudian memasukkannya ke dalam slot mesin ATM. Gue heran kenapa si mesin tidak mau menelan si kartu dengan sendirinya seperti yang biasa terjadi, maka gue pun memaksakan agar mesin mau menelan kartunya. Lalu, gue pun mengalihkan pandangan gue ke layar tampilan mesin ATM.

JREEEEEEEEEEEENNNNNNGGGGGG!!!!!!

"Maaf, untuk sementara mesin tidak dapat digunakan..." bla bla bla.
(Gue mematung)
Sadar dengan kebodohan gue, gue pun buru-buru mencoba mengambil kartu ATM gue. Gue coba dengan bolpen, dengan jari tangan, dan hasilnya nihil. Kartu ATM gue nggak bisa diambil.
(T..T)

Pasrah, gue akhirnya menyerah. Gue masuk ke dalam minimarket untuk membeli sesuatu dan sekaligus menelepon Customer Service bank yang bersangkutan. Sambungan berhasil, namun ketika gue sudah hampir ditangani, mereka tiba-tiba nggak bisa mendengarkan suara gue.
Apa-apaan nih?!

Mereka pun memutuskan sambungan, karena tak kunjung mendapatkan respon dari gue. Yeah, asal tahu saja, Mbak. Gue udah berkali-kali bilang, "Halo! Halo! Ya! Halo!"

Gue mencoba menghubungi kembali, dan yang menangani gue adalah orang yang berbeda. Jiaaahhh gue harus mulai lagi dari awal. Dan, di saat lagi asyik-asyiknya ngobrol, sambungan terputus. PULSA GUE HABISSS!!! Hahahahahaha.
(Tertawa stress)

Ya sudahlah, gue menyerah. Gue pulang ke kontrakan, dengan pikiran bahwa gue akan langsung menanganinya di bank terdekat besok Senin. Untungnya, tidak lama setelah gue sampai di kontrakan, justru mereka sendiri yang menghubungi gue. Thanks, God. Kartu ATM gue sudah aman, sudah diblokir.

Jadi, pelajaran yang bisa kalian dapatkan dari pengalaman bodoh gue ini adalah, jangan lupa untuk memastikan bahwa mesin ATM bahwa mesin tidak sedang rusak dan dapat digunakan. Terus, jika si mesin ATM tidak mau menelan si kartu, berarti memang ada sesuatu yang salah. Jangan dipaksakan, karena ternyata mesinnya sedang rusak.
Membantu ya buat kalian yang punya kartu ATM dan memiliki kecenderungan untuk mengalami hal-hal konyol. Tuhan memberkati #nyesek

SAAT LO HARUS MELAKUKAN TES FESES

Sebenarnya ini bukan kali pertama gw menjalani general medical check-up. Sebagai seorang anak didik dari sebuah yayasan kristen internasional non-profit yang senantiasa memperlengkapi anak-anak didiknya dengan banyak hal termasuk akses kesehatan yang memadai, gw sudah akrab dengan rutinitas general medical check-up ini.

Tapi, general medical check-up kali ini agak lebih amazing dari check-up check-up sebelumnya. Selain tes urine yang memang sudah biasanya dilakukan, kali ini juga ada TES FESES!!!

Apa?!
(Darah surut dari kepala gw)

Well, sebenarnya tes urine saja sudah cukup merepotkan untuk dilakukan. Lo harus bisa menahan pancuran air kencing lo agar tidak luber melebihi tempat yang disediakan. Nah, tes feses ini jauh lebih rempong! Selain malesin, tes feses ini juga sangat malu-maluin.
.____.

Ini adalah beberapa hal kenapa sebuah tes feses bisa menjadi hal yang sangat malesin dan malu-maluin.
Pertama, lo harus menempatkan tempat sampel yang berukuran kecil itu tepat di bawah lubang pantat lo. Jadi, lo harus tahu di mana letak lubang pantat lo berada. Karena jika letaknya tidak pas, yah, bisa dibayangkan sendiri akibatnya.

Kedua, lo tidak akan tahu seberapa besar dan seberapa panjang ukuran feses lo. Yah, kalau urine kan berbentuk cair, jadi ukurannya akan dengan mudah menyesuaikan dengan tempatnya. Berarti lo harus bisa mengatur dengan sedemikian rupa agar feses lo bisa muat di dalam tempat sampe yang kecil itu.

Ketiga, yah, di mana-mana seonngok feses itu warnanya sama ya. Bentuknya sama ya. BAUNYA SAMA YAAA. Lo harus mau melihat feses lo sendiri berada dalam genggaman tangan lo, hanya dipisahkan dengan sebuah gelas kecil. Untuk tipe orang yang agak jijikan seperti gw, hal ini cukup menyengsarakan :'(

Tidak cukup dengan itu, lo harus mau membawa keluar feses lo itu dan menempatkannya di atas sebuah meja di mana orang-orang berlalu lalang melewatinya. Gw tadi menyiasatinya dengan melapisi gelas feses gw dengan selembar tisu, agar orang lain tidak melihat feses gw.
(_ _ll)

Itu yang bisa gw share ke kalian, Nugiliciouz. Mudah-mudahan bisa membantu ya. Jadi, jika besok kalian ada yang mau medical check-up, mungkin bisa latihan dulu di rumah untuk mengambil sampel feses kalian sendiri. Maaf share-nya agak geuleuh, hahaha. Tuhan memberkati :)