Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu (Matius 6: 33)

Sabtu, 10 Maret 2012

BERBAHASA GAUL BUKAN BERARTI LUPA BAHASA DAERAH

Gue lahir di Jogjakarta, besar di Jogjakarta, dan baru merantau ke Bandung setelah lulus SMA untuk meneruskan pendidikan ke jenjang Perguruan Tinggi. Bahkan, gue masih menyempatkan diri untuk pulang ke kampung halaman sekitar empat kali setahun.

Dalam keseharian gue di tanah perantauan ini, gue menggunakan bahasa gaul ala Jakarta, seperti yang temen-temen gue lakuin. Pada minggu-minggu pertama, memang gue masih sangat medok dalam mengatakan bahasa gaul itu. Namun lama kelamaan, gue bisa juga menghilangkan kemedhokan gue itu, dan berbicara dengan dialek yang netral.

Apa yang terjadi? Apakah gue melupakan bahasa daerah gue? Apakah gue malu dengan bahasa dan dialek daerah gue?

Tidak. Tidak sama sekali.

Malahan, gue sangat bangga dengan Jawa. Kota-kotanya yang unik. Bahasanya yang sopan dan lembut. Budayanya yang khas dan mendunia. Orang-orangnya yang rajin, ulet, dan kreatif. Gue bahkan takut dikira rasis karena kebanggaan gue ini.

Gue menggunakan bahasa gaul ala Jakarta dalam keseharian gue di sini, semata-mata untuk menjunjung tinggi prinsip "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung." Di mana gue akan hidup sesuai dengan budaya di tempat gue tinggal, dan di sini bahasa gaul ala Jakarta adalah bahasa yang populer digunakan di lingkungan mahasiswa.

Gue menghilangkan logat medhok ala Jawa gue, agar sebagai komunikator, gue bisa lebih netral. Yah, dalam Ilmu Komunikasi, seorang Public Speaker tidak dianjurkan untuk berbicara dengan logat / dialek daerah tertentu. Itu karena pendengar kita bisa saja berasal dari berbagai latar belakang budaya dan bahasa.

Gue masih bisa berbahasa Jawa, dan bahkan sangat bisa. Gue menggunakan bahasa Jawa saat berkomunikasi dengan komunitas yang sesuai dan dengan keluarga, lengkap dengan logat medhok yang khas itu. Bahkan, kepada orangtua, gue berbicara dengan bahasa Jawa Krama Inggil (tingkat halus).

Jadi, buat semuanya, tolong hilangkan paradigma sempit dan kaku ini. Orang yang menggunakan bahasa gaul di tanah perantauannya, bukan berarti sudah lupa dengan bahasa daerahnya. Siapa tahu, seperti saya, orang itu hanya berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan yang baru, tanpa ada maksud untuk melupakan bahasa ibunya.
Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar