Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu (Matius 6: 33)

Kamis, 28 Maret 2013

PANCASILA, MASIHKAH MENJADI DASAR IDENTITAS NEGARA KITA?

lomba blog pusaka indonesia 2013Guys, gue mau coba tanya dulu deh, terutama buat yang udah jadi anak kuliahan atau udah punya gawe. Masih inget bunyi Pancasila nggak? Silakan Anda uji diri Anda sendiri :D

Gue sempet berpikir, kenapa ya tidak ada upacara bendera di kampus? Misalnya sebulan sekali. Nggak usah pake pidato yang panjang-panjang sih, asalkan bisa membuat kita tetep inget Pancasila yang menjadi dasar negara kita. Soalnya, sejak lulus SMA dan nggak pernah lagi upacara bendera, akhirnya banyak anak muda kita yang mulai melupakan isi Pancasila. Padahal, dengan terus mengucapkan Pancasila dan membuat bunyinya terus terngiang-ngiang di benak kita, maka kita pun akan melakukan apa yang kita katakan tersebut. Seperti halnya orang yang terus mengatakan kepada dirinya, "Saya pasti bisa! Saya pasti bisa!" yang kemudian menjadi benar-benar bisa dan percaya diri.

Pancasila dengan mudah dilupakan, bahkan hingga disepelekan. Seolah kita lupa bagaimana perjuangan para pahlawan kita dalam memperjuangkan kemerdekaan kita. Pancasila itu juga nggak dibuat asal-asalan loh, tapi sudah dibuat dengan mempertimbangkan karakteristik bangsa dan negara kita. Karena itulah, Pancasila menjadi dasar identitas negara kita. Perubahan sila yang mungkin paling diingat adalah perubahan sila pertama, yang akhirnya diubah agar tetap menghargai keberadaan kaum minoritas non-Muslim (Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dll)

Salah satu karakteristik utama Indonesia adalah PLURALIS. Indonesia terdiri dari ratusan bahkan ribuan suku dengan kebudayaan yang berbeda-beda: adat, tarian, nyanyian, rumah, pakaian, kepercayaan, dsb. Indonesia merupakan negara besar, negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari tiga belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan pulau yang lain dipisahkan oleh lautan, bahkan wilayah lautan menjadi wilayah yang mendominasi negara kita hingga negara kita dijuluki sebagai negara maritim atau negara bahari. Bahkan, dalam satu pulau saja, bisa memiliki puluhan bahkan ratusan suku dengan kebudayaan yang berbeda-beda. Misalnya adalah Pulau Jawa yang memiliki dua suku utama: Suku Jawa dan Suku Sunda. Dalam satu suku pun, misalnya suku Jawa, masih bisa memiliki dialek atau kebudayaan yang berbeda-beda antara sub-etnis yang satu dengan sub-etnis yang lain.

Mirisnya, boro-boro diterapkan di tengah komunitas global, di negara sendiri aja Pancasila belum menjadi identitas. Dari pengamatan gue sih, sila pertama dan kelima itu menjadi dua sila yang paling banyak dilanggar. Isu agama memang menjadi isu yang sensitif di negara kita. Tempat-tempat ibadah dirusak bahkan dihancurkan dan umat yang tidak diberikan kebebasan beribadah adalah tindak kekerasan berbau SARA yang paling sering kita dengar. Gue yakin semua agama yang diakui Indonesia adalah agama yang percaya kepada satu Tuhan, tidak terkecuali agama Hindu atau Buddha. Temen gue yang beragama Hindu pernah mengatakan (kurang lebih) kayak gini: "Kita tidak menyembah batu, atau pohon, atau benda matinya, tapi kami menjadikan mereka sebagai manifestasi kekuatan dari Tuhan Yang Maha Esa." :)

Bicara soal sila kelima, akhir-akhir ini gue mulai banyak dengar berita tentang banyaknya warga miskin yang ditolak berobat di banyak rumah sakit yang diduga dilakukan karena mereka adalah warga miskin yang tidak akan bisa membayar seluruh biaya pengobatan. Padahal sebaiknya seluruh warga Indonesia itu mendapat perlakuan yang sama, terutama dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Warga miskinlah yang selalu menjadi korban dari ketidakadilan di republik ini. Dan, jujur, yang terakhir gue agak mempertanyakan hukuman yang dijatuhkan kepada anak salah satu menteri kita yang hanya hitungan bulan. Padahal ulahnya 'kan udah menghilangkan nyawa orang lain, dua nyawa lagi.

Yang sangat membuat gue trenyuh adalah kasus-kasus kecil yang sampai dibawa ke pengadilan. Nenek nyuri singkong buat makan aja sampe dibawa ke meja hijau, padahal dia nyuri juga buat makan. Yah, nenek itu emang salah karena udah mencuri, tapi penyelesaiannya tidak seperti itu. Kalau cuma kayak gitu sih, diselesaikan secara personal antara kedua pihak juga bisa. Keadilan tidak dilaksanakan mentah-mentah kayak gitu.

Penerapan Pancasila ini lalu dilanjutkan dengan melestarikan kebudayaan daerah. Menurut gue sih, kebudayaannya juga nggak harus kebudayaan dari daerah tempat dia berasal. Sah-sah aja kalau ada orang Jawa yang melestarikan budaya Sunda atau Bali, misalnya. Karena setiap orang 'kan punya panggilan hidup dan selera yang berbeda-beda. Gue seneng dulu ada pelajaran Bahasa Daerah dari SD sampai SMA (nggak tahu gimana sekarang, mudah-mudahan masih kayak gitu). Tapi bakal lebih baik dan afdol kalau yang dijadikan pelajaran wajib bukan hanya bahasa daerah, tapi juga tarian daerah dan seni kebudayaan lainnya. Jadikan pelajaran wajib, bukan hanya sebatas kegiatan ekstrakurikuler. Siapa tau ada murid-murid dengan bakat dan panggilan terpendam dengan kebudayaan daerah. Misalnya gue nih. Gue baru sekarang ada keinginan buat belajar gamelan, dan baru tau kalau seni memainkan gamelan itu dinamakan Karawitan. Nah, nah, dulu gue pikir karawitan itu semacam kegiatan jahit menjahit. Salah gue juga asal berasumsi dan sok tahu, tapi gue sih berharap dulu keluarga dan guru-guru gue lebih memperkenalkan tentang seni budaya kepada anak-anaknya. Mana tau kan banyak anak-anak yang sotoy kayak gue.

Itu dia tempat pertama untuk menanamkan rasa cinta kepada kebudayaan daerah: KELUARGA. Caranya nggak usah yang ribet-ribet kok. Ajarkan bahasa daerah / bahasa ibu, ajak dateng ke festival-festival kebudayaan, nonton tarian daerah atau pertunjukkan budaya lainnya (misalnya wayang, ludruk, lenong), sebelum selanjutnya diperdalam dengan belajar hal-hal yang lebih kompleks, misalnya tarian dan pakaian daerah, di sekolah. Hal simpel lain yang bisa dilakukan adalah dengan mengadakan upacara perkawinan sesuai dengan adat daerahnya dan memberi nama anak dengan nama yang khas Indonesia. Masalahnya, sekarang gue udah nggak pernah menghadiri pernikahan bernuansa tradisional Jawa, padahal dulu sering banget. Sekarang biasanya cuma pemberkatan di gereja atau ijab khabul lalu dilanjutkan dengan resepsi. Anak-anak pun dinamai dengan nama-nama kebarat-baratan. Padahal nama Barat itu lebih pasaran loh, justru nama-nama Indonesia yang unik.

Beberapa orang mengatakan bahwa melakukan adat dan kebudayaan seperti itu adalah perbuatan yang melanggar prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dan tidak sesuai dengan norma-norma dalam agama. Menurut gue, itu nggak seutuhnya benar. Yang penting adalah motivasi kita, tujuan kita apa? Oh, melestarikan budaya. Ya udah, lakukan tanpa perlu meyakini nilai-nilai di dalamnya. Maka kita pun tetep dapat melestarikan budaya tanpa melanggar nilai-nilai agama yang kita yakini.

Kita perlu banyak belajar dari negara-negara lain di Asia yang sudah maju namun tetap mempertahankan kebudayaannya. Sebutlah Jepang, Korea, RRC, Thailand, negara-negara Asia Selatan, dan negara-negara Timur Tengah. Mereka akan dengan mudah dikenali karena wajahnya, logatnya, dan nama yang digunakan. Penggunaan bahasa Indonesia dengan ejaan yang benar perlu dibudayakan dalam setiap kegiatan sehari-hari. Gue ada tantangan nih. Coba deh, dalam satu hari aja, pakai bahasa Indonesia yang baik tanpa menggunakan satu kata pun bahasa asing, nggak usah diselip-selipin bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. Bisa? :)

Buat temen-temen yang udah aktif melestarikan kebudayaan daerah kita, tetep lanjutkan perjuangan kalian ya. Nggak usah malu, kalian malah bikin bangga kok. Dan buat temen-temen yang lain, dukung mereka-mereka yang udah mau melestarikan kebudayaan daerah ya (termasuk mereka yang jadi sinden atau penyanyi dangdut). Jangan malah ngatain mereka kampungan atau anak alay hehe. Dukungan kamu bisa menjadi sebuah langkah kecil untuk memulai gerakanmenguatkan identitas bangsa dalam komunitas global dan multikultural.

Gimana? Setelah baca tulisan gue ini, tertarik nggak buat menguatkan identitas bangsa kita? Nggak usah yang ribet-ribet dulu, dimulai dari diri kita sendiri. Bisa dimulai dengan kembali membudayakan bahasa daerah atau bahasa ibu. Gue nggak terus ngelarang buat suka dengan budaya negara asing kok (gue aja suka sama K-pop xD), tapi yang penting nggak lupa dengan identitas dan budaya kita. Ingat: kita bangsa Indonesia, dengan bahasa Indonesia, di tanah air Indonesia :)

Senin, 11 Maret 2013

BUAT COWOK, HATI-HATI YA KALO MALEM-MALEM JALAN SENDIRIAN DI CIHAMPELAS

Entah dosa mana yang membuat gue mengalami hal yang aneh ini tadi dini hari. Tadi malam, gue main ke Cihampelas Walk sama temen-temen gue. Yah, kumpul semua sekitar jam 7 malem, terus makan di Gokana, main-main di Game Master, sama nongkrong-nongkrong di Yogya Express (maaf sebut label, biar ceritanya jelas ._.) Sampai Yogya Express tutup, kita "pindah" tempat nongkrong di depan gedung mal yang ada undak-undakannya itu. Kita terus aja di situ. Ngobrolin soal seksualitas sampai cerita horor, bercanda-bercanda sampai main Truth or Dare (sumpeh kita kayak orang bego banget). Jam setengah tiga kita baru pulang. Ehem, sebenernya temen-temen gue masih mau lanjut nongkrong di IP, tapi gue mau balik aja, udah ngantuk bangetlah.

Demi menebus kegiatan hedonisme yang baru aja dilakukan tadi, gue jalan kaki dari Ciwalk ke kontrakan yang ada di sekitar Gandok. Lagipula Jalan Cihampelas kan satu arah, dan gue nggak kepikiran buat jalan nyeberang sampai Mesjid Cipaganti terus baru ngangkot. Gue lihat suasana nggak yang sepi-sepi banget. Masih ada segelintir kendaraan yang lalu lalang. Masih ada beberapa tempat makan dan minimarket / convenience store yang buka. Jadi gue masih merasa aman-aman aja.

Tiba-tiba aja ada cowok umur 20an akhir atau 30an awal nyamperin gue. Pake helm item yang kacanya dibuka, jaket item, sama celana jins biru gelap. Dia jalan dari seberang. Pertama sih dia nanyain nama, dan gue iyain. Gue heran dia tau nama gue dari mana. Apa dia cuma asal nyebut nama dan ternyata kebetulan sama dengan nama gue? Terus dia tanya lagi, "Kenal Reni nggak?" Gue jawab nggak, tapi dia tiba-tiba merangkulkan tangannya ke bahu gue terus menggiring gue ke pinggir. Gue udah ngerasa nggak aman!

Dia bilang dia dari Polwil, mau nangkep gue karena gue dituduh nyulik si Reni-Reni itu yang gue kenal aja kagak. Merasa udah nggak beres, gue langsung lari tunggang langgang. Tapi gue larinya nggak terlalu jauh, pas gue udah jalan normal lagi, tahu-tahu dia udah di samping gue. Dia merangkulkan lagi tangannya ke bahu gue, menggiring gue ke pinggir, tepatnya ke depan sebuah convenience store. Sebenarnya di situ ada banyak orang, tapi orang-orangnya pun juga orang-orang nggak beres, mungkin pemuda-pemuda sekitar situ. Gue coba kabur lagi, tapi dia buru-buru menahan gue dengan tangannya.

Dia mulai yang aneh-aneh. Minta lihat KTP gue (terus nulisin isinya di BB dia), tanya nomor hape (yang begonya gue kasih dengan polosnya), tanya kuliah di mana, nanya ngekost di mana. Tetep ngoceh soal si Ani-Ani itu (lhah, tadi katanya namanya Reni, kenapa jadi Ani?). Tiap kali gue nanggepin dia, dia selalu ngerespon dengan pernyataan, "Diem goblog!" sampai gue bosen dengan tanggapan kayak gitu.

Selagi dia asik ngetikin informasi di KTP gue, gue cepet-cepet ngerebut KTP itu dan lari sekencang-kencangnya. Gue sempet masuk ke Indomaret buat ngumpet, dan minta tolong sama petugasnya buat nganterin gue ke kontrakan. Karena petugasnya juga lagi sibuk, dia cuma nyuruh gue ke satpam di depan, terus bilang kalau Gandok udah nggak jauh lagi. Dia berusaha ngebantu dengan lihat-lihat situasi, selagi gue buru-buru lari ke kontrakan. Untung orangnya nggak ngejar.

Entah apa maksud orang itu. Gue sih mikirnya dia bukan mau ngerampok, atau minta duit, atau bahkan mau ngebunuh. Tapi gue takutnya, dia... yah taulah ya hahaha. Kayaknya selama beberapa hari ini gue bakal jadi parno banget. Gue nggak akan lagi jalan sendirian malem-malem deh, kapok. Syukur gue sampai di kontrakan dan nggak kenapa-kenapa. Silakan kalau ada yang mau komentar :)